Bogor, Satunews.id – Di tengah masih tingginya angka kemiskinan dan kondisi infrastruktur publik yang belum layak di Kabupaten Bogor, kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor yang menggelontorkan dana hibah tahun 2025 senilai Rp40,5 miliar menuai sorotan tajam.
Kebijakan tersebut dinilai tidak sejalan dengan realitas sosial ekonomi masyarakat, di mana banyak warga masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ketua DPC Bogor Raya LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara), Romi Sikumbang, mempertanyakan urgensi dan prioritas penggunaan dana hibah tersebut.
“Prioritas pengeluaran seharusnya difokuskan untuk kepentingan masyarakat kelas bawah dan pembangunan fasilitas umum yang layak. Dana publik harus menyentuh langsung kemiskinan, seperti bantuan tunai, pangan, kesehatan, atau pendidikan,” ujar Romi kepada Update Cerita Indonesia, Senin (10/11/2025).
Romi juga menyoroti kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana hibah. Ia menilai tidak adanya kejelasan mengenai tujuan penggunaan dana tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan memperlebar jurang ketimpangan sosial.
“Kami khawatir dana hibah ini tidak benar-benar sampai kepada pihak yang berhak, atau justru digunakan untuk kepentingan oknum maupun kepentingan politik,” tegasnya.
Menurut Romi, pemberian hibah dalam jumlah besar di tengah kondisi masyarakat yang serba sulit menimbulkan persepsi ketidakadilan dan ketimpangan alokasi sumber daya.
“Ini soal rasa keadilan. Bagaimana mungkin dana miliaran digelontorkan, sementara banyak warga tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar?” tambahnya.
LSM Penjara mendesak Bupati Bogor, Rudi Susmanto, untuk segera mengevaluasi dan menelusuri penggunaan dana hibah tersebut agar tepat sasaran serta terhindar dari potensi penyalahgunaan atau korupsi.
“Kami minta Bupati segera melakukan evaluasi dan kaji ulang besaran hibah agar bisa dipangkas kembali. Jangan sampai dana hibah mubazir dan menjadi celah korupsi,” ujar Romi.
Romi menegaskan bahwa secara prinsip, dana hibah yang bersumber dari APBN maupun APBD seharusnya digunakan untuk mendukung pembangunan nasional, penanggulangan bencana, serta peningkatan pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Ia juga mengingatkan agar pemerintah daerah belajar dari berbagai kasus penyalahgunaan dana hibah di daerah lain.
Korupsi dana hibah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara, denda, serta pidana tambahan, dengan ancaman maksimal hingga 20 tahun penjara, tergantung pada peran dan besarnya kerugian negara.
Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan ratusan tersangka dalam kasus korupsi dana hibah di berbagai daerah. Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat justru diselewengkan untuk keuntungan pribadi dan kepentingan politik.
“Ironi ini bisa berulang kalau pengawasan lemah. Jangan sampai dana hibah jadi bancakan pejabat atau oknum,” pungkas Romi.
(Romi)






























