*Oleh: Martinus Laba Uung*
Analisis Kebijakan Publik Tinggal di Jakarta
Nama Hasto Kristianto akhir- akhir ini terus menjadi perhatian media massa dan buah bibir masyarakat Indonesia. Nama Hasto sang Sekretaris Jenderal yang menjaga gawang politik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri kini terpukul dan tergerus merosot karena tersandung kasus korupsi Harun Masiku yang kini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nama Hasto makin mengudara setelah, KPK menetapkan dirinya menjadi tersangka.
Fakta kontras sikap Hasto yang membela diri berapi-api tidak terlihat dalam kasus Harun Masiku kini luruh mencair bak tumpukan es. Meski pun terus membantah dengan berbagai dalil dan menyerang balik KPK, menuding mantan Presiden Joko Widodo sebagai dalang di balik penjeratan dirinya menjadi tersangka kemudian mengancam akan membongkar kasus korupsi lain yang lebih besar menjadi tontonan publik yang tidak menarik. Telak pula fakta kontroversial yang dilakukan Hasto yaitu membawa-bawa atau menyelaraskan dirinya dengan perjuangan Bung Karno menjadi tontonan buruk samasekali tidak menarik di mata public bangsa Indonesia.
Dari manuver Hasto dengan menuding keterlibatan Jokowi dalam kasusnya, dan membawa-bawa nama besar Bung Karno memberikan kesan arogan bahwa sebagai petinggi partai dan sebagai politisi, Hasto ingin mencuci tangan dengan memakai air bersih dari tangan orang lain. Pda saat yang bersamaan kemudian berlindung di balik manuver itu untuk menarik empati publik bahwa dirinya bersih dari korupsi. Sikap dan tindakan ini bagi kalangan aktivis dan kaum muda samasekali tidak mencerminkan jiwa besar Hasto sebagai seorang pemimpin besar yang telah sukses bersama Megawati selama era Presiden Jokowi. Sebagai pemimpin partai besar yang sukses harusnya memberikan contoh dan panutan dalam hal pemberantasan korupsi yang telah menjadi agenda besar negara yang dirintis oleh Megawati sendiri ketika berkuasa.
Menurut saya, seharusnya Hasto belajar dari Sekretaris Partai Nasdem, Jhoni Gerald Plate yang juga terjerat KPK. Jhoni kemudian berjiwa besar mengikuti proses hukum dan kemudian menerima dan menjalani proses secara baik dengan jiwa besarnya. Sebagaimana Jhoni, maka kasus Harun Masiku ini juga menjadi ujian terbesar bagi jiwa besar Hasto dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang menjadi program besar PDIP sendiri. Hasto harus kooperatif dengan keputusan KPK dengan tidak lagi bermanuver dengan berbagai dalil ke rumah publik yang berdampak menjatuhkan reputasinya sebagai seorang politisi ke jurang yang lebih dalam.
Pertanyaan publik, mengapa Hasto harus bermanuver mengkambinghitamkan pihak lain? Mengapa Hasto harus melempar batu sembunyikan tangan kalau memang ia tidak terlibat dalam kasus korupsi Harun Masiku? Sejatinya ia tidak perlu merasa takut kalau memang ia tidak korupsi. Seharusnya ia tetap tenang saja tanpa mengancam akan membongkar kasus lain yang lebih besar ? Dengan sikap Hasto yang emosional, takut, cemas dan tidak tenang menimbulkan keyakinan bahwa Hasto memang terlibat dalam kasus korupsi tyang terjadi di negara ini.
*Ujian Publik dan Kredibiltas KPK*
Rakyat Indonesia, tentunya tengah menanti gerakan pasti nan cepat KPK beberapa hari ke depan ini untuk menahan Hasto meskipun aksi perlawanan Hasto terus dilakukan. Penahanan Hasto pasti akan dilakukan KPK karena telah menetapkan Hasto sebagai tersangka yang telah diumumkan ke ruang publik beberapa waktu lalu. Kita berharap, KPK tidak terpengaruh dengan manuver yang dilakukan Hasto dengan ancaman- ancaman akan membongkar kasus korupsi lain yang lebih besar. KPK yang telah mentersangkakan Hasto tidak boleh nyalinya ciut sedikit pun atas intrik- intrik Hasto. Jika Jhoni Plate pun dijatuhi hukuman penjara maka hal yang sama juga terhadap Hasto dengan tidak memilah dan memilih siapa dan apa latarbelakang warna politik.
Bagi kita, kasus korupsi yang telah menyertai Hasto ini, bukan saja ujian bagi jiwa besar Hasto saja tetapi juga menjadi ujian besar bagi kredibilitas KPK sebagai lembaga anti rusua dalam memberantas korupsi di negara Indonesia yang tidak saja menyeret pejabat kecil tetapi juga pejabat tinggi negara. Dengan demikian KPK tidak dinilai tebang pilih dalam melaksanakan tugas penindakan terhadap koruptor. Belajar dari jiwa besar dan kerendahan hati Jokowi. Beliau dituding koruptor namun beliau hanya menanggapi dengan santai. “silahkan buktikan saja”. Jokowi tidak mengkambinghitamkan orang. Jokowi tidak mefitnah sesama satu dengan yang lainnya. Jokowi sangat berbesar hati untuk menerima semua kritikan sebagai sebuah perhatian lebih untuk perbaikan dirinya pada masa yang akan datang.
Eksistensi dan kredibilitas KPK akan tetap dipuji dan dihargai rakyat Indonesia ketika mampu bertindak adil dan benar- benar bekerja menjunjung tinggi profesionalitas dan etikanya sebagai Lembaga penegakan hukum tertinggi korupsi di Negara Indonesia.***