Vox Point Indonesia Gelar DISPOL Nasional Diskusi Kebangsaan “Toleransi Bukan Tawaran Tapi Kewajiban”
Jakarta || Satunews.id
Vox Point Indonesia menggelar Diskusi Nasional (Dispol Kebangsaan) Seri ke-50 dengan tema “Toleransi Bukan Tawaran, Tapi Kewajiban” pada Jumat 8 Agustus 2025.
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati, menyampaikan dalam sambutannya dengan mengundang Prof. Mahfud MD dan Pdt. Dr. Ferdinand Watti, M.Th., M.Pd.K. hadir sebagai narasumber utama, membawa perspektifnya terkait toleransi di Indonesia yang saat ini sering terjadi peristiwa intoleran di berbagai daerah.
Diskusi nasional ini bertujuan untuk mencari akarmasalah,mengidentifikasi penyebab intoleransi di Indonesia,
merumuskan langkah nyata, nenemukan solusi untuk mengatasi intoleransi dan memperkuat komitmen kebangsaan.
Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati mengajak masyarakat untuk menjadikan toleransi sebagai tanggung jawab bersama
Vox Point Indonesia sendiri memiliki komitmen untuk membentuk kader yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Organisasi ini telah berkembang pesat dengan kehadiran di 29 provinsi, 76 kabupaten/kota, dan 9 negara.
Dengan tema “Toleransi Bukan Tawaran, Tapi Kewajiban”, diharapkan diskusi ini dapat memperteguh komitmen bersama dalam menjaga keutuhan NKRI dari tindakan-tindakan intoleransi dan politisasi agama .
Dalam paparannya Prof. Mahfud MD, sebagai salah satu narasumber menyampaikan pandangan pentingnya toleransi dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Prof. Mahfud MD membahas tentang peristiwa intoleran yang terjadi di Sukabumi, seperti penutupan atau penyerangan terhadap tempat ibadah minoritas, sebagai contoh nyata tantangan toleransi di Indonesia.
Prof. Mahfud MD menekankan bahwa toleransi adalah dasar kebersatuan bangsa Indonesia, karena Indonesia adalah negara yang beragam dengan berbagai suku, agama, ras, dan bahasa.
Toleransi memungkinkan masyarakat untuk hidup berdampingan dan bekerja sama meskipun memiliki perbedaan.
“Bhineka Tunggal Ika adalah landasan filosofis Indonesia yang mengakui dan menghargai perbedaan sebagai kekuatan bangsa. Semboyan ini menjadi penting dalam membangun kesadaran akan pentingnya toleransi, tutur Prof. Mahfud MD.
Prof. Mahfud MD juga membahas tentang ancaman radikalisme yang dapat mengancam toleransi dan keutuhan bangsa. Radikalisme seringkali menggunakan sentimen agama atau ideologi untuk membenarkan kekerasan dan intoleransi terhadap kelompok lain
“Penyebab intoleransi adalah protes terhadap ketidakadilan. Ketika masyarakat merasa tidak puas dengan kondisi sosial, ekonomi, atau politik, mereka mungkin menjadi rentan terhadap ideologi radikal yang menjanjikan perubahan drastis,” kata Mahfud MD
Sementara itu Pdt. Dr. Ferdinand Watti, M.Th., M.Pd.K. yang menjadi Narasumber kedua menyampaikan berapa peristiwa kasus intoleran di berbagai wilayah, seperti di Sukabumi, Depok, Riau, Kalimantan, Padang, Garut, Deliserdang dan Kediri.
Pdt. Dr. Ferdinand Watti, M.Th., M.Pd.K. yang sering turun kelapangan mengkritisi sikap pihak aparat keamanan yang tidak tegas terhadap kejadian peristiwa intoleran, padahal menurutnya jika pihak aparat tegas dalam penindakan maka peristiwa intoleran tidak akan terjadi dimana- mana, ujarnya.
Pdt. Dr. Ferdinand Watti, M.Th., M.Pd.K. mengatakan bahwa “pemerintah menjamin kebebasan beragama berdasarkan Pancasila Sila ke1 dan Undang-Undang Dasar 1946 Pasal 29 yang menjamin Kebebasan beragama” tuturnya.
Dalam diskusi tesebut hadir Menteri Agama (Menag) Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.
Menag menegaskan komitmennya untuk mengintegrasikan kesadaran lingkungan dengan pendidikan agama di Indonesia melalui konsep ekoteologi.
Gagasan ini akan menjadi pendekatan baru yang memadukan nilai-nilai teologis dengan tanggung jawab menjaga kelestarian alam dalam kurikulum pendidikan keagamaan.
Menurut Nasaruddin, ekoteologi bukan sekadar materi tambahan, melainkan sebuah paradigma yang mengaitkan pandangan teologis-filosofis dalam ajaran agama dengan kesadaran ekologi.
Pendekatan ini diyakini mampu menjawab tantangan zaman, khususnya krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
“Sejak kecil kita harus belajar bagaimana menyelamatkan lingkungan kita,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Menag dalam Diskusi Nasional Seri ke-50 yang digelar Vox Point Indonesia di Jakarta, dengan mengusung tema “Toleransi Bukan Tawaran, Tapi Kewajiban!”
Dalam forum ini, Menag menekankan bahwa isu lingkungan, toleransi, dan nasionalisme akan menjadi tiga fokus utama pengembangan pendidikan agama dan keagamaan di masa depan.
Menag menjelaskan bahwa integrasi ekoteologi ke dalam kurikulum agama bertujuan menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah.
“Pelestarian alam tidak hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari pengamalan ajaran agama,” tegasnya.
(Red)