Oleh: Moch Thoriqil Akmal B, S.H
Sumenep, satunews.id – Kemiskinan di Madura bukan sekadar angka di layar presentasi. Ia punya wajah, nama, dan juga punya utang di warung sebelah. Ia tinggal di rumah berdinding anyaman bambu yang hampir menyerah pada angin, tapi entah bagaimana, selalu berhasil bertahan mungkin karena hanya itu satu-satunya rumah yang masih bisa disebut “tempat tinggal”.
Namun, di ruang rapat pemerintah, kemiskinan tak punya wajah. Ia berubah jadi grafik warna-warni dan tabel yang bisa disesuaikan menurut suasana hati pejabatnya. Kadang naik sedikit untuk menunjukkan “tantangan”, kadang turun drastis menjelang Pilkada untuk menunjukkan “keberhasilan”.
Begitulah, kemiskinan di Madura hidup di dua dunia: dunia nyata yang keras, dan dunia data yang fleksibel. Pejabat daerah sering dengan bangga menyebut, “Angka kemiskinan turun!” seolah-olah itu hasil dari kebijakan yang luar biasa. Padahal yang turun mungkin hanya baris Excel, bukan beban hidup masyarakat. Sementara di kampung pelosok di Madura, banyak dapur yang tetap dingin, banyak piring yang tetap kosong, dan banyak anak yang masih harus memilih antara makan atau sekolah.
Kemiskinan di Madura itu unik. Ia punya daya tahan tinggi terhadap program bantuan. Dari BLT, PKH, BPNT, hingga bantuan tidak jelas namanya, semuanya datang dan pergi seperti tamu Lebaran.
Yang paling lucu, kemiskinan sering dijadikan “bahan politik musiman”. Saat kampanye, ia jadi magnet empati; tapi setelah terpilih, ia jadi bahan evaluasi. Lalu muncul tim survei, tim monitoring, tim validasi, bahkan tim verifikasi data kemiskinan yang jumlahnya kadang lebih banyak daripada warga miskin itu sendiri. Hebatnya, yang miskin tetap itu-itu juga, tapi datanya selalu berubah.
Masyarakat sering bingung “Kok di data saya sudah tidak miskin, padahal saya masih makan garam saja pakai air?” Ya, karena di atas kertas mereka sudah “sejahtera”. Mungkin karena punya motor bekas atau rumahnya berdinding bata setengah jadi.
Standar kemiskinan di Madura kadang terasa seperti candaan. Selama punya atap, walau bocor, dianggap mampu. Selama masih hidup, dianggap cukup. Sungguh sangat ironis, bahkan ada cerita yang beredar di kalangan masyarakat: “Kalau mau dapat bantuan, jangan terlalu jujur.” Karena kadang kejujuran malah bikin nama dicoret dari daftar penerima.
Sementara itu, para pejabat dengan wajah penuh semangat menggelar konferensi pers. “Kami berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga sekian persen,” katanya dengan bangga. Itulah kehebatan data. Ia bisa membuat perut kosong tampak kenyang. Ia bisa membuat penderitaan terlihat sebagai “kemajuan”. Ia bisa menjadikan kemiskinan bahan evaluasi tahunan, bukan alasan untuk bertindak nyata.
Padahal, kalau mau jujur, kemiskinan di Madura itu bukan hanya soal uang. Ia soal akses: akses pendidikan yang mahal, akses kesehatan yang sulit, akses lapangan kerja yang sempit. Banyak pemuda Madura yang akhirnya merantau bukan karena ingin, tapi karena terpaksa. Di desa mereka, pekerjaan sering datang lewat koneksi, bukan kompetensi.
Kemiskinan di Madura sering juga dijaga agar tetap “produktif”. Ya, produktif untuk proposal bantuan, untuk proyek sosial, bahkan untuk laporan keberhasilan pejabat. Ada banyak orang yang butuh kemiskinan tetap ada karena tanpa kemiskinan, mereka kehilangan ladang program. Maka kemiskinan bukan lagi musuh, tapi aset.
Lucunya, setiap kali data kemiskinan dibahas, pejabat akan bersuara dengan kalimat ajaib: “Kita akan lakukan pendataan ulang.” Pendataan ulang itu seperti mantra sakti seolah bisa menyembuhkan segalanya. Padahal, yang diperbaiki bukan kehidupan, tapi spreadsheet.
Di tengah semua itu, rakyat Madura tetap bertahan dengan caranya sendiri. Mereka tak menunggu pemerintah, mereka bekerja keras menghidupi keluarga kadang di laut, di ladang, kadang di luar pulau. Mereka tahu Negara sibuk menghitung, sementara mereka sibuk bertahan hidup.
Kemiskinan di Madura bukan rahasia, mungkin itulah perbedaan antara statistik dan kenyataan: statistik bisa diubah, tapi kenyataan tidak bisa disunting. Ia berjalan di jalan rusak, menyeberang di jembatan rapuh, dan tidur di rumah yang tak layak. Tapi selama data masih bisa diperdebatkan, kemiskinan akan selalu tampak seperti isu, bukan tragedi.
Maka, ketika pejabat kembali berbicara tentang “penurunan angka kemiskinan”, mungkin rakyat Madura akan tersenyum kecil sambil berkata,
“Baguslah, kalau datanya sudah turun. Sekarang tinggal tunggu kapan nasib kami ikut turun dari penderitaan.”






























