KAB. BANDUNG // SATUNEWS.ID // Menyusutnya luas hutan di berbagai negara di dunia membuat khawatir para pengamat lingkungan.
Berbagai kebijakan tentang pengelolaan hutan, illegal logging, alih fungsi lahan, merupakan faktor penyebab deforestasi. Pada KTT Iklim COP26 di Glasgow Polandia, 140 negara sudah sepakat untuk mengurangi deforestrasi dan dehradasi hutan pada dekade ini.
Namun kenyataannya, hal tersebut berjalan sangat lambat. Menurut Forest Declaration Assesment, deforestasi meningkat 4% pada 2022. Pada tahun yang sama dunia kehilangan 6,6 juta hektar hutan yang berarti sudah keluar jalur 21% untuk mengakhiri deforestasi pada 2030. Sementara pada 2023 ini dunia mentargetkan sebesar 27,8%, fakta ini menjadi kebalikan dari yang sudah ditargetkan.
Di Indonesia sendiri secara statistik terjadi penurunan angka degradasi hutan, tapi ini perlu dikaji ulang di lapangan. Dampak penggundulan hutan emiliki ekses yang sangat besar berupa perubahan iklim, global warming dan penyerapan CO2.
Berdasarkan data dari Global Forest Watch, Indonesia merupakan negara terparah dalam degradasi hutan. Selama beberapa dekade terakhir Indonesia kehilangan 9, 75 juta hektar hutan primer periode 2002 SD 2020, dikarenakan adanya perluasan perkebunan sawit.
“Dampak deforestrasi di Indonesia memiliki dampak yang sangat serius baik di tingkat nasional maupun internasional, ini adalah salah satu penyebab naiknya emisi”kata Zarina Deen, Ketua Kelompok Pemerhati Hutan Jawa Barat yang merasa prihatin dengan makin susutnya area hutan dunia.
Menurutnya, deforestasi hutan berbanding lurus dengan bencana hidrometeorologi di Kalimantan dan Sumatera karena jumlah Daerah Tangkapan Air sangat rendah.
Diperlukan kerjasama antar elemen dan masyarakat untuk mencari solusi degradasi hutan. Perlu difikirkan dampak negatifnya yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia.
Jika di suatu daerah terjadi penggundulan hutan, maka akan terjadi kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim. Hutan menghasilkan oksigen bagi mahluk hidup dan menyerap efek rumah kaca yang menjadi pemicu pemanasan hutan.
“Sekitar 70% flora fauna hidup di dalam hutan. Keberadaan mereka kini terancam dan diambang kepunahan seperti yang terjadi dengan species orang utan di Sumatera dan Kalimantan, Harimau Sumatera maupun jenis kucing besar lainnya yang kini terdesak karena habitat hidup mereka makin sempit”lanjutnya. Siklus kehidupan fauna perlahan akan mati karena 100 % kehidupan mereka tergantung pada kelestarian hutan.
Selain kepunahan massal didepan mata, siklus air terganggu karran area yang gundul tidak bisa menyerap air secara optimal, akibatnya banjir dan longsor.
Kenaikan suhu bumi bukan saja karena hutan yang makin menyusut namun disertai pemakaian bahan bakar fosil yang makin meningkat.
Maka kiranya negara2 di dunia mulai menegakkan komitmen seperti yang sudah disepakati di Galsgow untuk mengurangi kerusakan lahan serta mengeluarkan regulasi yang berdampak hukum agar membuat jera perusak lingkungan, baik itu perusahaan, lembaga, maupun perorangan. Tanpa penegakan hukum, masalah lingkungan tetap akan jalan ditempat
(Rina)**