Jayakarta, Satunews.id – Sosok H. Hercules Rozario Marshall kembali menjadi perhatian publik. Ketua Umum GRIB Jaya yang dikenal karena kepemimpinannya dan perjuangan sosialnya itu kini resmi dianugerahi gelar Abah Maung dan diangkat sebagai Dewan Kehormatan Majelis Taqlim Makam Kramat Ki Gede Tubagus Angke pada dalam acara haul ke-498 Pangeran Jayakarta II pada Minggu malam (22/6/2025).
Ini bukan sekadar gelar kehormatan biasa. Gelar Abah Maung, yang dalam budaya Betawi dan Sunda berarti “sang penjaga” atau “pelindung”, merupakan bentuk pengakuan atas keteguhan, keberanian, serta kepedulian sosial H. Hercules.
Gelar ini lazimnya disematkan pada figur yang diyakini mampu menjadi pengayom lahir dan batin bagi masyarakat.
Menggenggam Jejak Sejarah: Pangeran Jayakarta Kedua
Makam Kramat Ki Tubagus Angke, tempat berlangsungnya penobatan, menyimpan jejak penting dalam sejarah Jakarta. Ki Gede Tubagus Angke dikenal sebagai Pangeran Jayakarta Kedua, menantu dari Fatahillah—sang penakluk Sunda Kelapa yang mengganti namanya menjadi Jayakarta pada 1527.
Sebagai tokoh utama dalam penyebaran Islam dan pemerintahan lokal, Tubagus Angke tak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga spiritual yang masih hidup hingga kini.
Nama Angke di Jakarta Barat menjadi saksi bisu akan kiprah beliau. Di kawasan inilah, nilai-nilai perjuangan, religiusitas, dan kepemimpinan Tubagus Angke terus diwariskan.
Kini, dengan bergabungnya H. Hercules sebagai Dewan Kehormatan di majelis taqlim tersebut, semangat dan warisan luhur itu mendapatkan penerus baru. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta modern tetap menjunjung tinggi sejarah dan menghormati jejak para leluhur.
Pengakuan Sosial dan Spiritualitas
Hercules bukan sekadar figur publik. Ia telah melewati berbagai fase kehidupan—dari masa-masa sulit hingga kini menjadi pemimpin ormas besar dan tokoh yang banyak berbuat untuk masyarakat bawah.
Penobatan ini bukan semata penghargaan simbolik, tapi bentuk pengakuan moral dan spiritual: bahwa seseorang, betapa pun keras latar belakangnya, dapat menjadi pelanjut nilai luhur bila ia memilih jalan yang benar.
Acara penobatan berlangsung penuh khidmat. Doa-doa mengalun, simbol-simbol tradisi seperti sorban putih, peci, dan batik dikenakan para tokoh agama dan masyarakat. Semua berpadu dalam suasana penuh makna, menandai hubungan erat antara nilai sejarah, spiritualitas, dan tokoh kontemporer.
Menjaga Warisan Leluhur di Era Modern
Dalam era yang serba cepat dan modern ini, penobatan H. Hercules menjadi Abah Maung adalah pesan yang kuat. Bahwa kearifan lokal, sejarah, dan spiritualitas tetap relevan, bahkan penting, untuk menjadi fondasi dalam membangun masa depan.
Sebagai Dewan Kehormatan, tanggung jawab Hercules tak berhenti pada seremoni. Ia diharapkan turut menjaga kehormatan situs makam kramat, membimbing generasi muda dalam memahami akar budaya Jakarta, serta menjembatani nilai-nilai lama dengan semangat zaman kini.
Dalam pernyataannya setelah acara, H. Hercules menyampaikan rasa haru dan kesiapannya menjalankan amanah:
“Saya merasa sangat terhormat dan tersentuh. Ini bukan soal gelar, tapi soal tanggung jawab. Saya siap menjaga nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur kita, terutama Ki Tubagus Angke. Jakarta bukan hanya milik masa kini, tapi juga milik masa lalu dan masa depan.”
Pernyataan itu mencerminkan perubahan mendalam dalam perjalanan spiritual H. Hercules. Bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan di jalan sosial dan politik, tetapi juga dalam menjaga akar nilai spiritualitas yang menjadi kekuatan sebuah bangsa.
Gelar Abah Maung yang kini disandang H. Hercules Rozario Marshall bukanlah semata kehormatan, tapi cerminan dari nilai tanggung jawab lintas zaman. Ia menjadi jembatan antara jejak luhur sejarah Jakarta dengan tantangan masyarakat modern.
Sosok keras itu kini juga menjadi pelindung spiritual, memperkuat pesan bahwa masa depan bangsa akan kuat bila akarnya tak tercerabut dari sejarah.
(red)