Bandung Barat, SatuNews.id – Polemik rotasi mutasi 14 pejabat Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang belum reda, kini disusul isu baru yang tak kalah kontroversial: kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) KBB tahun 2025 sebesar Rp83,5 juta per bulan. Kebijakan ini langsung memicu gelombang kritik publik karena kondisi ekonomi masyarakat Bandung Barat masih penuh kesenjangan sosial dan himpitan kebutuhan dasar.
Salah satu penolakan keras datang dari Ketua Pokja Wartawan KBB, M. Raup, yang menegaskan bahwa kebijakan ini sama sekali tidak berpihak pada rakyat.
“Di tengah kondisi ekonomi sulit dan kemarahan publik yang kian memuncak, kenaikan tunjangan sebesar Rp83,5 juta per bulan adalah kebijakan yang melukai hati rakyat. Bagaimana mungkin pejabat menikmati tunjangan berlimpah sementara masyarakat masih bergulat dengan kesulitan hidup?” tegas Raup kepada awak media.
Raup menekankan bahwa pembatalan kenaikan tunjangan DPRD KBB harus dilakukan melalui Peraturan Bupati (Perbup) yang sah, bukan hanya sekadar surat edaran. Langkah resmi ini penting untuk memberikan kepastian hukum sekaligus menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap rakyat yang sedang kesulitan.
Ia mencontohkan, Pemkab Semarang pernah membatalkan rencana kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi DPRD melalui rapat paripurna. Mekanisme itu dianggap transparan, sah, dan selaras dengan prinsip keadilan sosial.
Menurut Raup, ada tiga dasar utama mengapa kenaikan tunjangan DPRD KBB harus dibatalkan:
Keterbatasan Anggaran – APBD seharusnya difokuskan pada kebutuhan mendesak rakyat, bukan memperbesar fasilitas pejabat.
Minim Transparansi – Besaran tunjangan DPRD selama ini tidak terbuka, sehingga kenaikan fantastis sulit diterima logika publik.
Kebutuhan Masyarakat Lebih Mendesak – Layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar masih jauh lebih urgen dibanding menambah kenyamanan pejabat.
Mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, tunjangan DPRD memang diatur, namun besarannya wajib menyesuaikan kemampuan keuangan daerah, asas keadilan, kepatutan, serta efisiensi.
Bahkan, Pasal 3 ayat (1) PP 18/2017 menegaskan bahwa penghasilan DPRD bersumber dari APBD dan harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Jika APBD terbatas, kenaikan berlebihan berpotensi melanggar prinsip tata kelola keuangan yang baik.
Sebagai gambaran, gaji dan tunjangan anggota DPRD kabupaten/kota per bulan meliputi:
Uang representasi: Rp1.575.000
Tunjangan keluarga: Rp220.000
Tunjangan beras: Rp289.000
Uang paket: Rp157.000
Tunjangan jabatan: Rp2.283.750
Tunjangan alat kelengkapan: Rp91.350
Tunjangan komunikasi intensif: Rp10.500.000
Tunjangan reses: Rp2.625.000
Tunjangan perumahan: Rp12.000.000
Tunjangan transportasi: Rp12.000.000
Total: Rp41,7 juta – Rp42,26 juta per bulan. Dengan tambahan kenaikan Rp83,5 juta, angka tersebut melonjak drastis menjadi lebih dari Rp100 juta per bulan.
Raup menegaskan, isu kenaikan tunjangan DPRD KBB bukan sekadar soal angka, tetapi soal rasa keadilan publik.
“Rakyat butuh perhatian, bukan kabar gembira untuk pejabat. Pembatalan kenaikan harus resmi melalui Perbup agar ada kepastian hukum. Jangan sampai rakyat merasa ditinggalkan oleh wakilnya sendiri,” pungkasnya.
(dr.j)
Sumber : Ketua Pokja Wartawan KBB M. Rauf




























