Jakarta– Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebut ada tindakan akrobatik hukum hingga upaya pembelokan dari informasi terkait kasus suap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi. Tanpa tedeng aling-aling, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.
Padahal, Isnur mengatakan di dalam Pasal 47 UU TNI dengan tegas mengatur bahwa prajurit aktif datang dan ditempatkan di Basarnas harus tunduk pada ketentuan administrasi, tunduk pada hukum pengawasan di kementerian/lembaga.
“Kalau diperintahkan di Basarnas maka tidak berlaku lagi, jabatan, dan administrasi di TNI,” tegas Isnur dalam diskusi publik bertajuk Kasus Korupsi di Basarnas dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Minggu (30/7/2023). Isnur juga menilai terdapat kekacauan dalam koordinasi hingga komunikasi di tubuh KPK. Bahkan, pemimpin hingga bawahan saling menyembunyikan hingga menyalahkan satu sama lain.
Padahal, dalam UU KPK disebut KPK berwenang menyelidiki, menyidik hingga menangkap penyelenggara negara atau Kabasarnas karena posisinya adalah jabatan sipil.
“KPK berwenang memimpin, mengkoordinasikan mengendalikan tipikor yang pelakunya, umum, militer dan sipil. Jadi yang perlu dipahami, KPK berwenang, UU TNI, menjelaskan itu,” tuturnya.
“Jadi kalau ada informasi yang menjelaskan bahwa KPK tak berwenang, itu tentu melanggar hukum dan disinformasi yang salah,” tambahnya.
Isnur juga menyayangkan Presiden Joko Widodo yang hanya terdiam ketika kasus korupsi di Basarnas mencuat. Sebagai panglima tertinggi TNI, dan juga orang yang mengutus pengawas KPK, sudah barang tentu Jokowi seharusnya melakukan upaya untuk membuka secara terang-benderang kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI ini.
“Jadi presiden itu ada kenapa diam saja, seakan-akan, seolah2-olah mendiamkan akrobat dan misinformasi dalam kasus ini,” ucap Isnur.
kontr.
Dame