Bekasi, Satunews.id – 27 September 2025 | Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Kali ini menimpa Jurnalis Ambarita, yang tengah melakukan investigasi terkait dugaan peredaran makanan kedaluwarsa di Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Jumat (26/9/2025).
Sekitar pukul 15.30 WIB, Ambarita tiba di lokasi dan mulai mendokumentasikan situasi dengan foto serta video. Namun tiba-tiba, sekelompok orang menghadangnya. Ia bukan hanya diintimidasi, melainkan dikeroyok secara brutal.
Dalam insiden itu, telepon genggam Ambarita dirampas, menyebabkan seluruh data liputan hilang. Lebih parah lagi, ia mengalami luka fisik, termasuk bengkak pada bagian mata, hingga harus mendapat perawatan medis.
Peristiwa ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di tanah air, sekaligus menjadi ancaman serius terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang benar.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA., mengecam keras tindakan tersebut.
“Ini bukan sekadar kriminal biasa. Ini serangan langsung terhadap kebebasan pers dan hak masyarakat untuk tahu. Ambarita sedang menjalankan tugas kontrol sosial, tetapi justru dibungkam dengan cara-cara barbar,” tegas Wilson, alumni Lemhannas RI PPRA 48 tahun 2012.
Wilson menilai maraknya kasus kekerasan terhadap wartawan menunjukkan lemahnya perlindungan hukum dari aparat. Ia mendesak kepolisian segera mengusut tuntas, menangkap para pelaku, serta mengembalikan hak-hak Jurnalis Ambarita.
Para pelaku pengeroyokan dan perampasan alat kerja jurnalis dapat dijerat dengan sejumlah pasal KUHP, di antaranya:
Pasal 351 KUHP (penganiayaan), ancaman 5 tahun penjara.
Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), ancaman 7 tahun penjara.
Pasal 365 KUHP (perampasan dengan kekerasan), ancaman hingga 9 tahun penjara.
Selain itu, perbuatan mereka juga jelas melanggar UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Pasal 8 menegaskan wartawan mendapat perlindungan hukum.
Pasal 18 ayat (1): setiap tindakan yang menghalangi kerja pers dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Dengan demikian, pelaku bisa diproses baik melalui KUHP maupun UU Pers sebagai lex specialis.
Kasus ini kembali menguji komitmen negara dalam melindungi jurnalis. Jika aparat lamban atau abai, maka preseden buruk akan terbentuk: kekerasan bisa terus berulang, dan pers semakin dilemahkan.
“PPWI berdiri bersama Ambarita dan seluruh jurnalis Indonesia. Kekerasan tidak boleh dijadikan senjata untuk membungkam kebenaran.”
Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Publik berhak tahu, dan pers tidak boleh dibungkam oleh kekerasan.
(red)