Oleh : Idat Mustari
Satunews.id,||Sering kali kita mendengar Khatib Khutbah Jum’at menutup khutbahnya dengan membaca QS. An-Nahl ayat 90“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Tentu ini bukan keharusan karena bukan perintah Rasulullah saw, namun ini terjadi dilatar belakangi sejarah perjalanan umat Islam.
Mulanya tradisi demikian dapat ditelusuri sejak era Dinasti Umayyah. Konteksnya merentang lebih jauh lagi, yakni ketika umat Islam terbelah dalam kubu-kubuan. Di satu pihak, ada yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Di pihak lain, ada pembela Muawiyah bin Abi Sufyan. Jika masjidnya adalah jamaahnya pengikut Muawiyah mencaci maki Sayyidina Ali bin Abi Thalib demikian pula sebaliknya. Saling caci maki terus berlangsung, hingga berdekade lamanya.
Bani Umayyah lantas dipimpin Umar bin Abdul Aziz. Umar Bin Abdul Aziz mengirim surat kepada penguasa wilayah bawahannya dari Jazirah Arab hingga Afrika yang berisi perintah kepada orang-orang yang menjadi Khatib dalam khutbah Jumat untuk membaca Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90.Tujuannya adalah menghentikan Khatib berujar kebencian di ruang publik.
Hari ini kebemcian di ruang publik semakin sulit terbendung ketika memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyebarkan informasi negatif secara cepat dan luas. Biasanya dalam berpolitik, ini cara jitu untuk mencari-cari kesalahan lawan politik. dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “smear campaign” atau “character assassination”, yang sering kali dianggap lumrah dalam dunia politik.
Seseorang bisa dicap sebagi penipu, pembohong tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu, bahkan sudah dianggap bersalah sebelum ada putusan hakim hanya gara-gara unggahan di media sosial seperti Twitter, Facebook, TikTok , dan You tube.
Media sosial bisa dengan cepat membangun opini publik untuk menjatuhkan sanksi sosial pada seseorang. Riuh konten yang tersebar di dunia maya bisa dengan mudah menjatuhkan reputasi seseorang terlebih lebih jika seseorang itu pejabat publik.
Tentu ketika menuduh,
memvonis seseorang yang belum terbukti bersalah bisa jadi sebuah kezaliman. Tak adil jika menghujat seseorang hanya gara-gara podcast. Oleh karena itu tradisi menutup khutbah dengan surat An Nahl ayat 90 untuk diteruskan di bangsa ini yang mayoritas muslim, tidak lain agar ingat bahwa berlaku adil adalah perintah Allah swt.
Semoga jika dulu Rasullah saw memerintahkan untuk jaga lisan, sekarang ditambah unttuk jaga jari agar mampu menahan jari untuk tidak berkomentar atau menyebarkan sebuah unggahan sebelum kita benar-benar tahu seluruh fakta dan kebenaran yang ada.
Semoga bermanfaat
** Penulis Pemerhati Sosial dan Keagamaan