Oleh : Azka Jovita Syach Anggraini
Mahasiswi Fisip Unsil Semester VI
ARTIKEL, || Olahraga sering dianggap sebagai arena netral yang menjunjung tinggi sportivitas dan persaingan sehat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa olahraga kerap menjadi panggung bagi kepentingan politik internasional.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan semangat olahraga yang tinggi, tidak luput dari dinamika ini. Dari era Presiden Soekarno hingga masa kini, kebijakan politik luar negeri Indonesia telah memengaruhi partisipasinya dalam ajang olahraga internasional.
Ketika Politik Menjadi Prioritas
Pada tahun 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Namun, keputusan pemerintah untuk melarang partisipasi Israel dan Taiwan, dengan alasan solidaritas terhadap negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka, menuai kontroversi.
Sebagai respons terhadap kritik dan sanksi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), Presiden Soekarno mendirikan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pada tahun 1963. Ajang ini dimaksudkan sebagai alternatif dari Olimpiade, dengan semangat anti-imperialisme dan solidaritas negara-negara berkembang.
Namun, langkah ini berdampak pada hubungan Indonesia dengan IOC. Atlet yang berpartisipasi dalam GANEFO dilarang mengikuti Olimpiade Tokyo 1964, dan Indonesia menghadapi isolasi dalam komunitas olahraga internasional.
Meskipun GANEFO mencerminkan sikap politik Indonesia saat itu, konsekuensinya terhadap dunia olahraga nasional cukup signifikan, karena keanggotaan Indonesia di IOC dibekukan, dan menghilangkan kesempatan atlet-atlet berprestasi Indonesia untuk berlaga di Olimpiade. GANEFO seolah menjadi contoh nyata bagaimana olahraga bisa dijadikan alat propaganda ideologis dan diplomasi internasional.
Enam dekade kemudian, Indonesia kembali menghadapi dilema serupa. Sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, Indonesia menolak kehadiran tim nasional Israel, sejalan dengan posisi politik luar negerinya yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Akibatnya, FIFA mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah dan menjatuhkan sanksi finansial kepada PSSI. Keputusan ini memicu kekecewaan di kalangan penggemar sepak bola nasional dan menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan Indonesia dalam memisahkan politik dari olahraga.
Menpora Dito Ariotedjo menegaskan pentingnya memisahkan politik dari olahraga. Ia menyatakan bahwa diplomasi dan komunikasi yang baik dapat menjadi solusi untuk menghindari konflik serupa di masa depan. Pemerintah Indonesia berupaya menjaga agar olahraga tetap menjadi arena netral, meskipun tantangan politik internasional terus ada.
Prestasi atlet Indonesia di kancah internasional dapat menjadi alat diplomasi yang efektif. Contohnya, keberhasilan Megawati Hangestri Pertiwi di liga voli Korea Selatan meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia. Olahraga dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas nasional dan membangun hubungan internasional yang positif.
Politik dan olahraga memiliki hubungan yang kompleks. Sementara olahraga idealnya bebas dari intervensi politik, realitas menunjukkan bahwa keduanya sering bersinggungan. Indonesia perlu terus berupaya menjaga keseimbangan antara prinsip politik luar negeri dan komitmen terhadap nilai-nilai sportivitas internasional. Dengan pendekatan diplomasi yang cermat dan strategi komunikasi yang efektif, Indonesia dapat memastikan partisipasinya dalam ajang olahraga dunia tanpa mengorbankan prinsip-prinsip nasionalnya.
(Sumber : Antara News, KOMPASIANA)