satunews.id
BANDUNG -Eks Sekretaris Daerah Purwakarta Iyus Permana bersama mantan Bupati Anne Ratna Mustika menjadi saksi dalam kasus korupsi anggaran belanja tidak terduga
yang merugikan kas negara sebesar Rp 1,8 miliar.
Kasus (BTT) COVID-19 di Kabupaten Purwakarta tersebut telah masuk di persidangan. Pantauan dari media disway.id di PN Bandung, Eks Sekda Purwakarta Iyus Permana, dihadirkan terlebih dahulu sebagai saksi di persidangan tersebut. Iyus dicecar jaksa soal kewenangannya saat itu dalam proses penganggaran bansos COVID-19 untuk pekerja yang terkena PHK di Kabupaten Purwakarta.
“Bantuan sosial ini buat para pekerja yang kena PHK akibat COVID-19. Yang menyiapkan datanya dari serikat, mereka menyampaikan permohonan ke pemerintah daerah untuk memberikan bantuan yang kena PHK,” kata Iyus, dalam persidangan, Rabu (3/1/2024).
Iyus mengaku, selama proses pencairan dana tersebut, Pemkab Purwakarta selalu mewanti-wanti Dinas Sosial yang menjadi OPD pelaksana untuk mencairkan anggaran tersebut dengan tepat sasaran. Namun nyatanya, bantuan tersebut malah diselewengkan.
“Saya juga baru tahu ketika ini ada masalah, soalnya kalau sudah teknis saya tidak tahu, di Dinsos semua kewenangannya. Pada waktu itu saya difokuskan ke penanganan COVID sebagai ketua harian di Purwakarta,” ungkap Eks Sekda Purwakarta Iyus.
“Lanjut, Terdapat instruksi dari bupati masa itu Anne Ratna Mustika nggak supaya anggaran ini tidak diselewengkan begitu?,” tanya Jaksa kepada Iyus.
“Ada, setiap minggu ada rapat zoom dengan pusat. Selalu menginstruksikan supaya tidak ada penyelewengan dalam penggunaan dana BTT,” tegas Iyus.
Sementara itu, mantan Bupati Purwakarta Ane Ratna Mustika mengaku, tugasnya saat itu hanya menindaklanjuti usulan bantuan dana yang diajukan serikat buruh. Setelah itu, Anne menyatakan tidak banyak mengetahui soal proses pencairannya.
“Pencairan itu ranah teknis, saya tidak tahu. Tapi yang jelas waktu itu ada usulan dari serikat kepada saya selaku Bupati melalui surat tanggal 1 September 2020. Usulan untuk memberikan bantuan kepada karyawan yang terdampak pandemi COVID-19,” katanya.
Mantan Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus korupsi belanja tak terduga (BTT) bagi karyawan PHK saat pandemi Covid-19 tahun 2020 di PN Bandung.-
Setelah menerima usulan ini, Ane kemudian merapatkannya dengan jajaran Pemkab Purwakarta. Setelah dikaji, bantuan tersebut rupanya bisa diberikan sebagaimana acuan yang dikeluarkan pemerintah.
“Ternyata bisa, mengacu kepada insturksi Mendagri nomor 1 tahun 2020 kaitan dengan pencegahan, penyebaran, percepatan penanganan COVID-19. Di situ ada 3 hal, yang pertama adalah di bidang kesehatan, yang kedua di bidang ekonomi, dan yang ketiga di bidang jejaring sosial,” katanya.
“Nah, setelah itu kita tindak lanjuti dengan mengalokasikan anggaran untuk 1000 karyawan, masing masing Rp. 2 juta, berarti yang akan diterima atau disalurkan sekitar Rp. 2 milyar. Saya hanya sampai sana menjelaskannya, setelah itu teknis berjalan melalui OPD tekan,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, dalam kasus ini, Kejari Purwakarta menetapkan 3 tersangka yaitu Titov Firman Hidayat (Mantan Kadisnakertrans Purwakarta), Asep Surya Komara (Mantan Kadinsos P4A Purwakarta) dan Asep Gunawan (Mantan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Purwakarta). Ketiganya disinyalir mengkorupsi anggaran BTT tahun 2020 yang diperuntukkan bagi karyawan yang terkena PHK dampak pandemi COVID-19.
Dana BTT ini dikeluarkan untuk meringankan beban korban PHK sebanyak 1.000 orang yang bersumber dari anggaran dinsos P3A Purwakarta tahun 2020. Namun hasil pemeriksaan data yang diusulkan tidak sesuai dengan data penerima.
Untuk data penerima ada yang masih bekerja, ada yang terkena PHK namun bukan dampak COVID-19. Lebih parahnya lagi, ada yang sama sekali bukan pekerja. Ketiga kategori itu malah mendapatkan dana bansos.
Dalam temuan Kejari, bansos untuk 1.000 orang itu ternyata hanya disalurkan kepada 87 orang yang tepat sasaran. Sementara 913 sisanya, merupakan penerima yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kejari Purwakarta juga menemukan potongan penyaluran BTT COVID-19 kepada karyawan yang terkena PHK. Setiap penerima yang seharusnya mendapat dana tunai Rp 2 juta, malah dipotong Rp 200 ribu oleh para tersangka.
Akibatnya, Kejari mencatat kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1.849.300.000 atau Rp 1,8 miliar lebih. Ketiganya pun dijerat Pasal 2 ayat (2) atau Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 atau Pasal 9 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.****