KAB.BANDUNG|satunews.id| Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung menggalakan konservasi berbasis kesejahteraan masyarakat. Hal ini diungkapkan Bupati Bandung Dr. HM. Dadang Supriatna melalui Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan dan Ekonomi Dr. Ir. H. A Tisna Umaran, M.P., saat menghadiri pelaksanaan musyawarah Bupati bersama masyarakat tani (Mupakat) di Taman Teknologi Pertanian Kopi Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, Selasa (5/12/2023).
“Untuk area di dataran tinggi, seperti di Kertasari ini lahan miliknya kan terbatas. Jadi kebanyakan lahan HGU (Hak Guna Usaha) kemudian hak pengelolaan hutan di Perhutani. Artinya lahan negara,” kata Tisna.
Menurutnya, interaksi masyarakat dengan lahan-lahan yang ada di kawasan Kertasari itu sudah lama, yaitu dalam upaya pemanfaatan lahan.
“Di Perhutani itu ada yang namanya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Kemudian di Perkebunan juga ada pengelolaan kebun berbasis masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, kata Tisna, konsep-konsep ini harus juga diarahkan bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal penghidupan maupun penghasilan. “Karena mereka tidak punya pilihan. Lahan miliknya juga sempit, yang ada lahan kehutanan dan perkebunan yang notabene itu juga kurang terurus. Oleh karena itu, yang namanya PHBM dan pengelolaan kebun berbasis masyarakat sesuai dengan harapan konsep awal,” tuturnya.
“Yang menjadi perhatian kita itu sering kali, para pengambil kebijakan hanya terbatas sampai pada bagaimana lahan-lahan konservasi ini bisa berfungsi sebagai lahan konservasi,” imbuhnya.
Artinya, lahan hutan ditanami tanaman keras. Kemudian lahan miring disengked dan ditanami tanaman keras.
“Sebetulnya itu juga tidak cukup harus diberikan guide oleh kita tanaman keras yang produktif. Kemudian disusul tanaman keras produktif dan menguntungkan bagi petani maupun bagi kawasan,” ujar Tisna.
Jadi, imbuh Tisna, harus didorong masyarakat dengan memberikan contoh-contoh bagaimana konservasi dengan memakai tanaman yang ramah terhadap lingkungan, tapi menghasilkan dan menguntungkan.
“Sehingga masyarakat akan memelihara tanaman tersebut karena jelas. Dengan tanaman ini memberikan keuntungan atau kontribusi kegiatan berusaha bagi mereka,” katanya.
Contoh kasus, kata dia, konservasi itu harus ditanami tanaman keras yang produktif. Kemudian tanaman buah-buahan yang bernilai ekonominya tinggi.
“Tidak cukup sampai disitu. Harus juga dipilih, kalau tanaman buah-buahan varietasnya apa. Karena ada tanaman buah-buahan cocoknya di dataran rendah,” jelasnya.
Untuk itu, Tisna menyebutkan, tanaman keras dan tanaman buah-buahan yang cocok di dataran tinggi dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
“Alpukat misalnya cocok di dataran tinggi dengan varietas parkinson. Coba dibuat semacam demplot, umur 2,5 sampai 3 tahun mulai berbuah. Harganya cukup tinggi kemudian banyak yang butuh. Begitu harga menguntungkan maka dengan sendirinya petani akan meminta kepada pemerintah,” jelasnya.
Kemudian bagi pemilik modal akan dengan sendirinya membeli bibit tanaman buah-buahan tersebut. Dengan cara itu, katanya, konservasi berjalan dan lahan-lahan kosong maupun lahan kehutanan dan lahan miring ditanami tanaman keras.
“Tapi di sisi lain petani atau masyarakat memelihara tanaman itu. Sehingga konsep konservasi berbasis kesejahteraan itu bisa terpenuhi. Konservasinya itu lahan hijau dan terpelihara. Disisi lain masyarakat sejahtera karena ada penghasilan dari buah-buahan itu,” ujarnya.
Dengan cara itu, kata Tisna, ancaman longsor sangat minim atau mungkin tidak ada.
“Mata-mata air terjaga. Sengkedan-sengkedan terpelihara oleh petani,” pungkasnya.**